MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

29 November 2010

Kompetensi VS Sertifikat dan Pendidikan Karakter



Istilah ‘Profesional’ begitu akrab ditelinga para pendidik seiring dengan digulirkannya program Sertifikasi Guru pada tahun 2006 yang lalu. Sebagai indikator ke-profesional-an tersebut ditentukan oleh dua kompetensi. Yaitu Kompetensi Kepribadian dan Kompetensi Sosial.


Adapun indikator Kompetensi Kepribadian adalah:
1. Kedisiplinan
2. Penampilan
3. Komitmen
4. Keteladanan
5. Semangat
6. Tanggung Jawab

Sedangkan indikator Kompetensi Sosial adalah:
1. Kesantunan Berprilaku
2. Kemampuan Bekerja Sama
3. Kemampuan Berkomunikasi
4. Empati

Sungguh indikator-indikator yang sangat ‘indah’ terdengar. Namun sayang, semua tuntutan kompetensi tersebut diuji hanya melalui lembaran-lembaran kertas yang disebut Sertifikat/dokumen (termasuk ijazah). Lembaran-lembaran tersebut termaktub dalam kumpulan yang kita sebut Porto Folio.

Sejauh mana efektifitas Porto Folio dapat kita lihat dari berbagai fenomena yang muncul ke permukaan. Ada yang menawarkan penyusunan porto folio lengkap dengan sertifikat/dokumen dengan biaya sekian juta. Belum lagi transaksi jual beli sertifikat seminar tanpa harus mengikuti kegiatannya. Status S1 yang merupakan akses utama menuju istilah ‘profesional’ ini pun menjadi ajang bisnis yang luar biasa.

Dengan hadirnya ‘kenyataan’ ini, dari manakah kita harus memulai Pendidikan Karakter ? Dua kata yang akhir-akhir ini ‘didendangkan’ para pengambil kebijakan pendidikan negri ini? (Bukankah sejak jaman Ki Hajar Dewantara Pendidikan Karakter telah ditanamkan dalam pola pendidikan Indonesia tanpa harus meributkan istilah dari ‘Pendidikan Karakter’ itu sendiri ?). Sistem dari sebuah program yang salah atau memang mental hedonisme yang begitu melekat di diri kita ? (Wallahu’alam bishawab). Karena program sertifikasi lebih condong ditargetkan pada Tunjangan Profesi dari pada peningkatan kompetensi diri. Sehingga jangan heran, lebih banyak tenaga pendidik yang ‘berupaya’ sedemikian rupa menge-set porto folio-nya agar tidak masuk PLPG. Padahal justru PLPG adalah ajang yang paling tepat untuk mengasah kompetensi diri.

Selain itu tuntutan untuk meningkatkan tingkat pendidikan di kalangan para pendidik, maka dianjurkan untuk melanjutkan studinya. Program ini pun bertujuan positif. Tetapi sayangnya, hanya segelintir yang memang benar-benar melanjutkan studi karena ingin meningkatkan kompetensi diri. Kebanyakan hanya untuk berupaya meningkatkan tingkat golongan kepegawaian karena smakin tinggi tingkat golongan semakin tinggi juga pendapatan setiap bulan. Sungguh sesuatu yang mubazir (gelar ‘melimpah’ tetapi kompetensi ‘payah’). Bahkan terkadang semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tidak terkendali juga budaya copast. Namun hal ini tidak akan terjadi jika lagi-lagi Sertifikat/dokumen bukanlah acuan mutlak untuk menguji semua itu.

Dari berbagai kenyataan yang muncul tersebut, pendidikan karakter tak ubahnya seperti missing link, yang membingungkan…dari mana harus dimulai ? Apakah ini kesalahan sebuah system atau mental bangsa yang benar-benar perlu di-up grade ? Jika ya…dari manakah harus dimulai ?

Silahkan sahabat yang membaca artikel ini untuk mengungkapkan komentarnya di kotak komentar.

Selengkapnya...