MOHON MAAF, PELAWISELATAN DOT BLOG SPOT DOT COM SEDANG DALAM PROSES RENOVASI. HARAP MAKLUM UNTUK KETIDAKNYAMANAN TAMIPLAN. Semoga Content Sharing Is Fun Memberikan Kontribusi Positif Bagi Pengunjungnya. Semua Artikel, Makalah yang Ada Dalam Blog Ini Hanyalah Sebagai Referensi dan Copast tanpa menyebutkan Sumber-nya Adalah Salah Satu Bentuk Pelecehan Intelektual. Terimakasih Untuk Kunjungan Sahabat

11 Januari 2010

Gonjang-ganjing UN 2010

Polemik tentang UN sepertinya tidak ada habis-habisnya. Keputusan MA agar pemerintah meninjau kembali pelaksanaan UN tidak memberikan pengaruh yang berarti. MA dan masyarakat peduli pendidikan berkicau, Diknas tetap dengan kebijaksanaannya, yang sungguh jauh dari 'bijak' di sini.Sistem kelulusan ala UN will go on.

Berikut ini adalah tanya jawab seputar Ujian Nasional yang sering jadi perbincangan yang......ntahlah...seperti apa ending-nya nanti.

1. Perlukah kita akan sebuah Ujian yang berstandar Nasional?
Ya. perlu. Kita memiliki sebuah sistem pendidikan yang berstandar nasional. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional tersebut mencakup
* Standar Kompetensi Lulusan
* Standar Isi
* Standar Proses
* Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
* Standar Sarana dan Prasarana
* Standar Pengelolaan
* Standar Pembiayaan Pendidikan
* Standar Penilaian Pendidikan
Baca di http://bsnp-indonesia.org/id/?page_id=61
Jika kita telah memiliki standar pelayanan pendidikan yang berskala nasional seperti ini maka kita juga memerlukan adanya sebuah ujian yang berstandar nasional.

2. Perlukah Ujian Nasional (ujian yang berstandar atau berlevel nasional) itu diterapkan di seluruh Indonesia (berskala nasional)?
Tentu saja tidak! Hanya daerah-daerah yang telah mampu menerapkan semua standar nasional tersebut yang perlu diuji dengan sebuah ujian nasional. Sekolah-sekolah yang belum bisa menerapkan ke delapan standar pelayanan minimum tersebut tentu tidak perlu diuji dengan sebuah ujian yang berstandar nasional. Ujian yang berstandar nasional SEMESTINYA hanya boleh diberikan JIKA instrumen masukan dan proses pendidikannya SUDAH berstandar nasional juga. Jadi Ujian Nasional itu UJUNG dari sebuah proses panjang dari sebuah upaya peningkatan kualitas pendidikan yang berstandar nasional pula. Jika instrumen masukan dan proses yang diberikan tidak berstandar nasional maka mengukurnya dengan sebuah ujian nasional adalah kesalahan fatal. Menjadikannya sebagai syarat kelulusan adalah sebuah kekejaman dan ketidakadilan (bagi mereka yang tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang berstandar nasional).
Di negara-negara maju dan besar seperti Amerika Serikat, Australia, New Zealand, dan China TIDAK ADA ujian nasional yang diterapkan pada semua siswa di semua negara bagian mereka. Negara dengan kualitas pendidikan terbaik seperti Finlandia malah tidak punya ujian nasional dan kelulusan siswa mereka ditentukan oleh sekolah masing-masing.

3. Siapa sajakah yang mesti ikut ujian nasional tersebut?
Hanya siswa-siswa yang telah mendapatkan pelayanan pendidikan berstandar nasional saja yang SEMESTINYA boleh mengikuti ujian nasional ini dan siswa-siswa dari sekolah yang belum mencapai standar minimal seperti yang ditetapkan oleh BSNP ini selayaknya TIDAK DIPERBOLEHKAN mengambil ujian nasional. Tapi di Indonesia ujian nasional ini diwajibkan kepada semua siswa kelas 6, 9 dan 12 di seluruh Indonesia tanpa perduli apakah siswa-siswa tersebut telah memperoleh standar pendidikan yang nasional atau belum. Dan itu adalah sebuah kesalahan fatal dalam prinsip pengujian atau evaluasi. Prinsip ‘test what you teach’ tidak digunakan dengan pemberlakuan ujian nasional kita saat ini. Sebagian besar siswa di daerah-daerah terpencil (bahkan di P. Jawa) belum memperoleh haknya akan sebuah pendidikan yang berstandar nasional tapi mereka telah dievaluasi dengan sebuah ujian yang berstandar nasional.

4. Apa tujuan dari Ujian Nasional?
Tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik serta untuk mengukur mutu pendidikan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.

5. Apakah Ujian Nasional bisa dipakai sebagai perangkat untuk meningkatkan kualitas pendidikan?
Tidak. Ujian nasional adalah salah satu alat pengukuran output pendidikan dan bukan perangkat yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

6. Apakah UN dapat memberikan gambaran kualitas pendidikan secara komprehensif di sebuah sekolah (atau daerah)?
Tidak. UN hanya menunjukkan hasil pengukuran dari materi yang diujikan saja. UN tidak dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa. UN juga tidak menguji tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik. UN tidak tahu bagaimana tanggung jawab anak dalam kehidupan di sekolah. UN tidak mau tahu apakah siswa mampu berkejasama dalam tim atau tidak. UN tidak memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. UN hanya mengukur pemahaman kognitif siswa pada materi yang diujikan

7. “Pentingnya Ujian Nasional untuk menciptakan kultur kerja keras, tidak lembek di kalangan peserta didik,” kata Bambang Sudibyo.
Ini berarti mengingkari fungsi dan tujuan sebuah evaluasi pendidikan. Jika kita menginginkan agar peserta didik memiliki kultur kerja keras dan tidak lembek maka jelas bukan ujian nasional resepnya. Itu hanya pendapat pribadi yang tidak didukung oleh bukti. Tidak ada hasil riset yang mendukung pernyataan tersebut. Jika UN bisa membuat peserta didik memiliki kultur kerja keras dan tidak lembek coba terapkan itu pada perguruan tinggi. Beri mereka sebuah ujian kesarjanaan yang berskala nasional. Bukankah perguruan tinggi juga menginginkan lulusan yang memiliki kultur kerja keras dan tidak lembek? Berdasarkan pernyataan anggota BSNP Mungin Edi Wibowo “UN dilakukan untuk meningkatkan pemetaan mutu program satuan pendidikan dan juga sebagai proses seleksi, juga UN bisa sebagai bahan pertimbangan dan pemberian bantuan kepada yang sudah lebih ataupun masih kurang,” http://www.detiknews.com/read/2009/11/25/124428/1248524/10/bsnp-un-penting-untuk-tingkatkan-mutu-pendidikan. Jadi tidak benar bahwa UN digunakan untuk menciptakan kultur kerja keras.

8. Apakah untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia kita HARUS menggunakan sebuah ujian yang berskala nasional pada SEMUA siswa di seluruh Indonesia?
Tidak. Kita bisa menggunakan metoda sampling untuk keperluan pemetaan kualitas pendidikan tersebut. Metoda sampling bisa kita lihat pada metode “Quick Count” pilpres kapan hari. Dengan mengambil sample secara tepat kita bisa melihat peta kualitas pendidikan Indonesia tanpa harus melibatkan semua siswa di Indonesia. Dengan metoda sampling kita bisa memperoleh hasil pemetaan kualitas pendidikan di tanah air dengan cepat, murah dan tanpa ekses seperti sekarang ini. Lagipula bukankah kita sudah melakukan pemetaan (UN) setiap tahun? Untuk apa pemetaan setiap tahun jika tidak digunakan sebagai pertimbangan untuk mulai memperbaiki kualitas sekolah yang buruk? Lagipula, jika hanya untuk kepentingan pemetaan, mengapa harus mengikutsertakan SELURUH INDONESIA dalam evaluasi tersebut? Metode sampling jauh lebih murah dan tidak kalah efektifnya kalau hanya untuk mengetahui peta kualitas siswa.

9. Apakah UN adalah satu-satunya penentu kelulusan siswa?
Bukankah berdasarkan Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan kelulusan siswa dinilai berdasarkan nilai ujian nasional, ujian sekolah, kehadiran, dan sikap/akhlak mulia? Secara tertulis memang dinyatakan bahwa UN hanyalah salah satu dari tiga syarat lainnya. Tapi dalam faktanya UN adalah SATU-SATUNYA penentu kelulusan. Tidak ada SATU PUN siswa yang lulus UN tapi tidak diluluskan oleh sekolahnya karena tidak memenuhi salah satu dari tiga ketentuan lainnya. Jadi meski siswa sering bolos, ujian sekolahnya jeblok, dan tidak berakhlak mulia, tapi kalau ia lulus UN maka sekolahnya PASTI akan meluluskannya. Sebaliknya kita bisa melihat banyak siswa yang sudah lulus semua persyaratan dari sekolah bahkan dengan nilai baik dan sudah diterima di PMDK tapi karena nilai matematikanya kurang sedikit saja dalam UN maka semua nilai-nilai bagus yang diperolehnya di sekolah tidak bisa menolongnya untuk lulus. Nilai UN menjadi SATU-SATUNYA penentu dalam hal ini.

10. Bukankah dalam syarat kelulusan sebanarnya UN berperan hanya 25 % alias satu dari empat?
Tidak. Memang tertulis 1 diantara 4 tapi bukan berarti bobotnya 25%. Meski ada 4 persyaratan untuk lulus UN tapi UN tetap nilainya paling menentukan. Jadi biar pun yang 3 sudah lolos tapi jika UN tidak lolos (meski nilainya hanya kurang 0,1) maka siswa tetap tidak lulus. Kalau bilang 25% itu artinya bobotnya sama. Faktanya tidak demikian.

11. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa menghapuskan pelaksanaan ujian nasional (UN) akan membodohi jutaan anak Indonesia.
Ini pendapat pribadi yang tidak didukung oleh riset sama sekali. Beliau juga bukan seorang pakar pendidikan, apalagi dalam bidang psikometri. Dulu beliau bisa menetapkan UN karena jabatannya wapres, yang menguasai bidang social dan pendidikan, dan bukan karena pertimbangan akademik. Jadi penetapan UN untuk seluruh Indonesia adalah petimbangan politik (kekuasaan) dan bukan akademik. Sama sekali tidak ada riset yang mendukung pernyataan tersebut.

12. “Orang bisa menjadi pintar itu karena belajar. Kenapa belajar, karena akan diujikan. Kalau tidak ada ujian dan semua bisa lulus, untuk apa belajar?” kata Kalla.
Ini pernyataan yang tidak benar samasekali. Memang orang pintar karena belajar, tapi orang tidak pintar karena mengikuti ujian. Jelas sekali bahwa fungsi evaluasi pendidikan tidak difahaminya. Pendapat bahwa orang belajar hanya karena ada ujian adalah tidak benar. Di negara lain tidak ada UN dan mereka tetap belajar dengan baik. Bahkan di Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan terbaik, justru tidak menerapkan ujian nasional bagi siswa-siswanya. Baca http://satriadharma.wordpress.com/2005/10/05/kualitas-pendidikan-terbaik-di-dunia/#more-114. Kita juga tidak belajar hanya karena akan diuji, Tujuan belajar jelaslah bukan sekedar untuk diuji.

13. UN, lanjut JK, merupakan sarana untuk membuat seluruh siswa di Indonesia sama pintarnya, karena memakai satu standar. “Siswa di Kendari, Ternate, maupun di mana saja di seluruh pelosok negeri di-set pengetahuannya sama dengan siswa di Jakarta maupun kota besar lainnya,” ujarnya.
Bukan ujian yang membuat kualitas pendidikan meningkat tapi pelayanan pendidikan yang berkualitas yang bisa membuat kualitas pendidikan meningkat. UN itu hanya alat untuk MENGUKUR pencapaian materi siswa, dan bukan alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ujian yang standar tidak akan membuat pengetahuan siswa menjadi sama pengetahuannya. Tidak mungkin input dan proses yang berbeda TIBA-TIBA menjadi sama outputnya hanya karena diuji dengan pengukuran yang sama. Juga tidak ada bukti bahwa setelah mendapat UN maka anak-anak daerah BISA BERSAING dengan anak-anak P. Jawa. TIDAK ADA data yang bisa digunakan untuk menyatakan bahwa dengan mengikuti UN akan bisa membuat anak-anak daerah bisa bersaing dengan anak-anak di P. Jawa. Belum pernah ada penelitian semacam itu karena menggunakan logika yang salah. Ujian Nasional hanyalah alat ukur dan bukan obat atau solusi untuk peningkatan kualitas pendidikan. Hal itu sama saja artinya dengan menyatakan bahwa sejak digunakannya termometer maka penyakit demam bisa dikurangi, atau lebih ekstrim lagi dengan menyatakan ‘Sejak digunakannya termometer ini untuk mengukur panas anak-anak di Papua maka alhamdulillah kesehatan anak-anak Papua sudah sama baiknya dengan anak-anak P. Jawa!’ Tentu saja itu konyol. Jika anak-anak di daerah ingin bisa bersaing dengan anak-anak di P. Jawa maka KUALITAS PENDIDIKANNYA yang harus ditingkatkan (bukan standar ujiannya).

14. Penghapusan UN adalah kemunduran, karena saat ini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, juga sudah mulai menerapkan UN. “Tanpa itu, siswa akan santai-santai saja belajarnya. Mungkin akan ada yang stres karena UN, tapi lebih baik beberapa yang stres daripada membuat jutaan anak menjadi bodoh,” ucap JK.

Ini informasi yang tidak akurat. DI Amerika Serikat TIDAK ADA ujian nasional yang berlaku untuk semua siswa di semua negara bagian. Meski telah ada upaya untuk membuat sebuah standardized exit exams yang ditawarkan kepada semua negara bagian tapi banyak negara bagian yang tidak bersedia. Tak ada pakar pendidikan yang berani meramalkan bahwa AS akan menerapkan sebuah UN yang berlaku untuk semua siswa di semua negara bagian (Ujian Nasional AS) suatu saat. Lagipula karakteristik ‘ujian nasional’ AS itu sungguh berbeda dengan UN di Indonesia yang serampangan tersebut. Standardized exit exams yang berlaku di beberapa negara bagian itu telah dimulai sejak kelas 10 dan bisa dilakukan 5 kali selama di SLTA (1 kali di kelas 10, kalau tidak lulus bisa diulangi 2 kali di kelas 11 dan 2 kali lagi di kelas 12). Kalau tetap tidak bisa lulus masih boleh mengulangi setelah lulus SLTA kalau mau dapat sertifikat. Kalau tidak mau ya gak
apa-apa dan tetap boleh lulus. Jadi ujian tersebut tidak digunakan untuk MENGHUKUM siswa seperti UN-kita ini.

15. Mengapa kita tidak melihat upaya Pak JK itu sebagai usulan dan niat baik yg positif untuk kemajuan pendidikan?
Ya, saya menghargai KEINGINAN BAIK dari JK tersebut tapi saya menentang CARA yang dipilihnya. Tujuan baik yang dilakukan dengan cara yang buruk akan berbuah buruk pula. Menerapkan sebuah standardixed test yang high stakes sebagai exit exams bagi siswa kelas 6, 9, dan 12 sebagai syarat keluluisan serta mewajibkannya ke seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke adalah keputusan yang salah karena sangat gegabah.

16. Pendidikan di Papua, NTT dan Sumba harus sama dengan yang di Jakarta. Itu sebabnya UN diperlukan.
Jelas bukan UN yang dibutuhkan oleh pendidikan Indonesia saat ini. UN itu cuma instrumen untuk mengukur hasil pendidikan kita secara nasional yang memang sangat tidak adil jika dipakai sebagai standar kelulusan yang disamakan antara Jakarta dan Papua. Bagaimana mungkin Papua yang masih menghadapi masalah buta huruf diwajibkan memiliki standar kelulusan yang sama dengan Jakarta? Bagaimana mungkin kinerja sekolah di pelosok Indonesia yang gedungnya mau roboh dan gurunya sangat kurang dan jarang datang, tak punya buku, siswa-siswanya masih belum lancar membaca diminta bisa bersaing dengan sekolah di Jakarta?
Semestinya Ujian Nasional pertama-tama dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai kinerja pemerintah (dalam hal ini dinas pendidikan) dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi bukan untuk mengukur kinerja siswa dulu. Siswa itu kan hanya menerima pelayanan pendidikan dan bukan pelaku yang menentukan kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri. Lantas kenapa siswa yang harus menerima resiko dan hukumannya jika pelayanan pendidikan di daerah atau sekolahnya buruk? Kenapa bukan Dinas Pendidikannya yang dicopot jabatannya lebih dahulu? Mereka lebih pantas untuk menerima resiko dari buruknya pelayanan pendidikan kita ketimbang siswanya yang tidak tahu harus berbuat apa agar bisa mengejar ketertinggalan dengan siswa Jakarta.
Mayoritas Siswa Papua belum butuh UN agar dianggap setara dengan siswa di Jakarta. Mereka masih berjuang untuk membuat siswanya bisa membaca. http://tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2408:tingginya-buta-aksara-di-papua–hukum-karma-buat-guru&catid=82:lembar-olah-raga&Itemid=94

http://pendidikanpapua.blogspot.com/2009/07/230-ribu-orang-papua-buta-aksara.html
Siswa si NTT juga sama nasibnya. Menurut Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT, Drs. Ismail Kasim, NTT masih kekurangan 15 ribu hingga 20 ribu orang guru. http://dion-bata.blogspot.com/2009/03/menemukan-masalah-pendidikan-di-ntt-1.html.
Lha kalau gurunya saja masih kurang (belum lagi kita bicara soal mutu dan kompetensi gurunya) maka bagaimana kita bisa bicara kualitas (yang perlu diukur dengan UN tersebut)?
Di daratan Pulau Sumba misalnya, banyak calon guru yang tidak memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjadi guru dan ini sudah berlangsung sejak lama. Pemda NTT bahkan kesulitan untuk membuka unit sekolah baru untuk tingkat sekolah dasar dan SMP karena tidak punya guru dan bahkan jumlah gurunya terus menurun karena banyak guru yang memasuki masa pensiun. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan guru yang pensiun, maka diangkatlah guru SD dari tamatan SLTA non keguruan. Ini adalah fakta yang terjadi di lapangan. Jadi di bagian Indonesia lain masalahnya masih berkutat pada AKSES dan KEBUTUHAN DASAR pendidikan dan belum bica bicara kualitas (yang perlu diukur dengan UN tersebut).
Lagipula… cermin apalagi yang kita butuhkan untuk melihat kualitas pendidikan kita? Kita sudah sama-sama tahu wajah pendidikan kita tanpa harus punya cermin bernama UN. Bukan cerminnya yang kita butuhkan tapi penanganan langsungnya yang kita harapkan. Dan penanganan tersebut akan sangat berbeda untuk setiap daerah. UN justru akan mengaburkan upaya penanganannya. Hasil UN palsu (karena dicurangi secara massif) justru akan dipakai sebagai dalih untuk menutupi kegagalan kita di pendidikan. Bukankah setiap tahun nilai UN kita meningkat? Bukankah itu bukti bahwa Depdiknas berhasil meningkatkan kualitas pendidikan? Bukankah kualitas pendidikan kita sudah setara antara Papua dan Jakarta? dst… dst…
Padahal kita semua tahu bahwa hasil UN tersebut tidak layak untuk dijadikan rujukan karena diperoleh dengan hasil curang oleh sekolah. http://regional.kompas.com/read/xml/2009/04/21/22142123/praktik.kecurangan.un.meluas

17. Banyak anak yang masih tidak tahu perkalian sederhana tetapi tetap diluluskan oleh sekolah. Jika tanpa UN apa jadinya kualitas pendidikan kita?
Jika masih banyak anak yang tidak paham perkalian yang sederhana maka itu bukan karena kesalahan pengukurannya/evaluasinya/ujiannya/testnya tapi karena kesalahan PROSES pembelajarannya. Meski dites 1000X pun jika PROSES PEMBELAJARANNYA tidak diperbaiki maka hasilnya akan tetap sama. Ada istilah GIGO (garbage in garbage out). Jangankan begitu. Meskipun batu intan tapi jika digosok dengan salah maka intan tersebut tidak akan menjadi berlian yang berkualitas baik. Jadi bagaimana mungkin siswa yang tidak punya guru yang bisa mengajar matematika dengan benar akan lulus ujian hanya karena diberi UN? Kalau siswanya sudah mendapatkan standar pendidikan yang nasional maka tidak ada masalah jika mereka mau diuji dengan ujian yang berstandar nasional. Silakan! Tapi kalau yang belum ya janganlah sampai mereka diwajibkan untuk ikut.

18. Mengapa menghindari drop out dengan meluluskan semua siswa?
Siswa pendidikan dasar TIDAK BOLEH drop out, apalagi didrop-outkan dengan UN. Siswa harus tetap bersekolah untuk memperoleh pendidikan dasar. Pendidikan dasar adalah hak setiap anak. Tolong baca artikel saya agar Anda paham di : http://satriadharma.wordpress.com/2008/09/18/tahukah-anda-bahwa-pendidikan-gratis-dan-bermutu-adalah-hak-setiap-anak/

19. Apakah sulit mencapai nilai 5,0 untuk soal-soal UN yang sudah ada kisi-kisinya?

TIDAK ADA HUBUNGAN antara nilai UN dengan apakah sekolah mengetahui kisi-kisi ujian atau tidak. Anda boleh saja hafal di luar kepala kisi-kisi tersebut tapi itu TIDAK MENJAMIN bahwa sekolah Anda akan mendapatkan nilai UN yang baik. Ini bukan persoalan apakah sekolah sudah faham kisi-kisi atau tidak. Sebagai analogi, meskipun Anda nonton sepakbola piala dunia setiap malam itu tidak akan menjamin bahwa Anda akan bisa main sepakbola karenanya. Anda harus berlatih bermain sepakbola agar bisa.

20. Bukankah sekolah tidak perlu laboratorium atau perpustakaan canggih untuk bisa lulus UN?
Sekolah tanpa perpustakaan, laboratorium, lapangan olahraga pun bisa membuat siswa lulus UN.
Kalau cuma untuk bisa mengerjakan soal UN bahkan siswa tidak perlu sekolah. Serahkan saja ke bimbingan belajar! Apakah itu yang kita inginkan (menyuburkan bimbingan belaajr)? Akhirnya bukan proses pembelajaran yang diberikan pada siswa tapi kiat-kiat untuk mengerjakan soal UN. Apa Anda tidak sadar betapa berbahayanya situasi yang dimunculkan oleh UN ini? Ini akhirnya membuat sekolah-sekolah menjadi bimbingan belajar UN semua dan tidak mengajarkan ketrampilan hidup untuk bekal mereka di masa depan. Mereka akhirnya hanya mengajarkan kiat-kiat untuk mengerjakan soal UN. Dari cara pandang demikian nampak bahwa UN ini telah membuat kita mereduksi tujuan pendidikan. Kita sudah tidak perduli lagi dengan tujuan pendidikan dan bagaimana proses tersebut dilakukan. Yang penting bagaimana agar siswa kita semua bisa lolos dari UN tersebut. Semua hasil kerja siswa selama tiga tahun, betapapun baiknya, tidak akan kita perdulikan jika ia tidak mampu lolos dalam UN. UN telah menjadi tujuan pendidikan itu sendiri. Dan ini justru sangat ditentang.

21. Apa salahnya jika siswa mengikuti bimbingan belajar?
Bukankah bimbingan belajar dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan siswa?
Tidak. Bimbingan test tidak membuat siswa meningkat kemampuan akademisnya secara nyata. Bimbingan test hanya akan mengarahkan upayanya agar siswa dapat memilih jawaban yang benar dari pilihan yang tersedia. Jika ini dilakukan di sekolah maka akibatnya adalah akan membuat sekolah mempersempit kurikulumnya hanya pada materi yang akan diujikan saja dan membuat guru dan siswa berkonsentrasi untuk mengingat-ingat jawaban tertentu. Bimbingan test tidak akan mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang fundamental maupun yang lebih tinggi.
Soal pilihan berganda (multiple choice) adalah bentuk test yang cenderung bersifat hafalan yang tidak akan bisa mengukur kemampuan untuk mengorganisasikan dan mengkomunikasikan ide. Seseorang yang bisa mendapatkan nilai tinggi dalam bahasa Inggris bahkan tidak perlu tahu bagaimana membaca atau menulis dengan baik dalam bahasa tersebut. Ia hanya perlu tahu mana satu jawaban yang tepat di antara empat pilihan yang ada.

22. Untuk lulus UN cukup asal ada kemauan untuk belajar.
Tentu saja harus ada buku yang bisa dibaca. Banyak tersedia di pasaran, yang mahal dan yang murah ada. Yang gratis download saja. Di internet banyak tersedia gratisan. Dimana ada kemauan pasti ada jalan. jangan manja ah…
Bicara ‘download’ itu kan kalau daerahnya sudah ada internet. Kalau di sekolah itu listrik saja belum ada lantas apa bisa sekolah download lewat talang dan dimasukkan ember? :-) Saya ingatkan sekali lagi, kita bicara skala NASIONAL yang dari Sabang sampai Merauke, dari Jakarta Pusat sampai Pulau Air, Batu Legong, Bulang (Anda pasti gak tahu kan dimana ini?). Jangankan yang jauh seperti di Maluku dan Papua sana, sedangkan di Pulau Madura yang suda punya jembatan Suramadu yang megah tersebut banyak yang belum dapat listrik kok! Sekitar 34 persen wilayah pedesaan di empat kabupaten di Pulau Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Kabupaten Sumenep, hingga saat ini belum mendapat aliran listrik. Baca http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/21/brk,20091221-214830,id.html

23. Kenapa tidak ada yang memprotes bila seorang siswa tidak naik kelas, bukan ujian akhir, tapi tidak naik kelas, misal dari kelas 1 ke kelas 2. Hakekatnya sama aja kok. Kenapa hanya UN yang diprotes?
Jelas itu tidak sama. Yang satu adalah satuan pendidikan (sekolah) dan satunya N A S I O N A L (dari Sabang sampai Merauke). Pahami dulu makna dan skala nasional ini baru tahu bedanya. Kalau ada sekolah yang tidak menaikkan siswanya karena siswanya memang belum memenuhi syarat ya silakan karena mereka yang tahu apa yang dajarkan dan apa yang harus diujikan. Sementara dalam hal Ujian Nasional apakah Depdiknas tahu dan yakin apa yang diajarkan di pulau-pulau di Maluku Utara sana sehingga siswanya harus diberi ujian yang berstandar nasional?! Tentu tidak.

24. Sekarang kenapa ujian harus bersifat nasional?
Hanya satu alasannya, standarisasi. Seorang lulusan SD diharapkan menguasai bla bla bla… Lulusan SMP dan SMA pun begitu. Perlu ada standar.
Jika Anda bicara soal penguasaan (atau standar kompetensi lulusan) maka itu berarti bicara soal MASUKAN dan PROSES PENDIDIKANNYA (dan bukan pengukurannya). Jika ingin mendapatkan lulusan yang bermutu maka beri mereka fasilitas dan proses pembelajaran yang bermutu (bukan ujan yang berstandar nasional). Ujian yang berstandar nasional SEMESTINYA hanya boleh diberikan JIKA instrumen masukan dan proses pendidikannya SUDAH berstandar nasional juga. Jadi Ujian Nasional itu UJUNG dari sebuah proses panjang dari sebuah upaya peningkatan kualitas pendidikan yang berstandar nasional pula. Jika instrumen masukan dan proses yang diberikan tidak berstandar nasional maka mengukurnya dengan sebuah ujian nasional adalah kebodohan. Menjadikannya sebagai syarat kelulusan adalah sebuah kekejaman dan ketidakadilan (bagi mereka yang tidak memperoleh pelayanan pendidikan yang berstandar nasional).

25. “Ujian Nasional sangat penting. Tanpa Ujian Nasional kualitas tidak bisa diukur secara nasional, hanya lokal saja,” ujar Ketua BSNP Mungin Edi Wibowo dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (25/11/2009).
Bisa! Kita bisa menggunakan metode lain untuk mengukur kualitas pendidikan nasional kita, Metode sampling bisa digunakan untuk keperluan tersebut.

26. Benarkah UN bisa meningkatkan kualitas pendidikan?
Tidak ada studi yang mendukung pendapat tersebut. Sebuah studi dari Stanford University’s Institute for Research on Education Policy and Practice mengungkapkan bahwa ujian kelulusan ini ternyata tidak mampu memberikan penilaian tingkat ketrampilan dasar yang adil bagi anak-anak minoritas, kulit berwarna, dan pelajar perempuan. http://blogs.edweek.org/edweek/inside-school-research/high-school-exit-exams/. Berdasarkan studi itu kebijakan UN ternyata lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya utamanya bagi pelajar wanita dan kulit berwarna ‘high school exit-exam policy may be doing more harm than good for the state’s lowest-performing students—especially those who are young women and students of color.’
Penemuan lainnya adalah bahwa ujian kelulusan ini TIDAK MEMOTIVASI anak-anak minoritas, kulit berwarna dan pelajar perempuan. Meski ini adalah kasus di AS tapi ini sebuah hasil studi yang membantah bahwa UN akan membuat semua siswa menjadi termotivasi untuk belajar lebih keras.
Anda mungkin masih rancu dan megidentikkan antara KUALITAS PENDIDIKAN dengan UJIAN NASIONAL. Itu adalah dua hal yang berbeda.
Peningkatan mutu akademik terletak bukan pada UNAS, melainkan pada banyak sekali aspek lain yang harus digarap secara telaten dan dalam jangka panjang, baik aspek-aspek yang terkait langsung dengan pendidikan ataupun dengan kehidupan bangsa kita secara lebih luas. Selama kualitas pendidikan dan pelatihan guru buruk, gaji guru kecil, sarana pendidikan miskin, manajemen sekolah amburadul, kurikulum tak tepat guna, korupsi merajalela-sehingga dunia pendidikan pun korup, buku teks masuk sekolah lewat jalan menyuap, sekolah cukup memberi pelicin untuk dapat akreditasi baik, dan lulusan sekolah tak merasa perlu berkualitas karena toh dengan nyogok bisa sukses juga dalam hidup-dan masih amat banyak lagi faktor, UNAS tak akan ada manfaatnya dan justru malah merugikan.

27. Bukankah semestinya apa yang seyogianya dikuasai siswa di Pulau Jawa juga harus setara dengan yang terlahir dan bertumbuh di Pulau Yamnea sana?
Semestinya memang begitu. Idealnya adalah agar semua siswa dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh Indonesia. Dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah banyak hal yang perlu dilakukan a.l :
- meningkatkan kualitas dan kuantitas gurunya
- memberi fasilitas belajar yang layak
- memberikan buku-buku pelajaran dan bacaan yang berlimpah
- memperbaiki manajemen sekolah
- membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa untuk belajar
- memberikan akses seluas-luasnya bagi anak tidak mampu untuk bisa bersekolah
- mengembangkan kurikulum yang relevan dengan dunia masa kini
- dll

Adalah salah besar jika Pemerintah menganggap bahwa solusi atau obat mujarab untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan sebuah ujian yang berskala nasional. Dengan asumsi kalau siswa sudah melakukan Ujian yang berstandar Nasional yang sama dengan di P. Jawa maka kualitas pendidikan mereka akan berangsur-angsur setara dengan di P. Jawa, meskipun seamburadul apa pun kualitas pelayanan pendidikannya.

28. Bukankah sistem UN tersebut dapat mendorong guru dan kepala sekolah bekerja dengan baik?
UN akan memacu mereka untuk mengajar dengan lebih serius dan tekun. Jika para guru menjadi lebih tekun dalam mengajarkan bagaimana caranya agar siswa dapat mengerjakan soal-soal UN maka ini justru berbahaya karena nantinya sekolah hanya akan memfokuskan diri pada bagaimana mengerjakan soal UN dengan baik. Belajar di sekolah akan diarahkan semata pada bagaimana agar bisa mengerjakan soal UN.
Lagipula kalau UN tersebut digunakan untuk mendorong guru dan kepala sekolah bekerja dengan baik maka reward and punishmentnya ya mesti diarahkan kesana. Jangan siswanya yang dijadikan taruhan (dengan menjadikannya tidak lulus UN). Jika UN dijadikan sebagai pendorong semangat sekolah maka
BSNP (Depdiknas) telah salah dalam menggunakan alat evaluasi. SALAH SASARAN karena maunya mengukur kompetensi guru tapi ujiannya buat siswa. Menggunakan UN sebagai alat ukur kemampuan guru juga tidak tepat karena hanya mengukur bidang studi tertentu. Buknakah guru yang bidang studinya tidak diUN-kan juga perlu diukur?! :-) Selain itu juga ukuran nilai UN hanya menunjukkan kemampuan menjawab soal belaka dan tidak mengukur kompetensi siswa dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya dari guru. Kalau siswa bisa menjawab UN belum merupakan bukti bahwa gurunya hebat atau kompeten.

29. Hal2 tertentu boleh memberikan mereka pilihan, tapi mengenai menghilangkan ujian sehingga semua anak bisa lulus TANPA HARUS BERJUANG KERAS, apa gunanya pendidikan?

Bahwa kita harus punya semangat bekerja keras kalau mau sukses memang benar. Tapi apa betul UN (sendirian) bisa membuat orang bekerja keras? Justru yang terjadi selama ini dengan adanya UN adalah terjadinya kecurangan missal dalam pelaksanaan UN dan manipulasi nilai. Ini menunjukkan bahwa UNAS bukan hanya gagal meningkatkan semangat bekerja keras dan prestasi akademik, tapi justru menyebabkan kemerosotan moral dan karakter pendidikan kita.
Bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah Penabur, Al-Azhar, atau sekolah-sekolah unggulan lainnya mereka tidak perlu berjuang keras untuk bisa lulus UN. Piece of cake, bagi mereka. Tapi untuk anak-anak di daerah-daerah yang tidak punya listrik, tak ada buku dan gurunya juga sama tidak pahamnya tentang Matematika dengan siswa maka bagaimana kira-kira cara mereka BERJUANG KERAS agar bisa lulus UN? Kita harus berpikir secara global tentang UN ini karena kebijakannya juga berlaku global. Kita tidak bisa hanya melihat secara parsial dalam hal ini. Kita juga tidak bisa mengasumsikan bahwa jika semua siswa bekerja keras maka mereka TENTU BISA lulus ujian nasional dengan murni. Banyak faktor lain selain bekerja keras agar bisa lulus UN. Untuk bisa lulus UN kerja keras bukan prasyarat.

30. Kalo sekolah dengan gelar “berstandar nasional/internasional” masih kesulitan lulus UN, berarti sekolah jelek. Sekolah baik tidak akan kesulitan dengan UN mestinya. Anda tahu tidak statistik sekolah baik dan sekolah buruk di Indonesia?
Berdasarkan statistik dari Depdiknas sendiri 1 dari 6 sekolah di Jateng (ini pusatnya Jawa lho!) bermutu buruk dan 1 dari 2 sekolah di NTT memprihatinkan. http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/617331-1110769011447/810296-1110769073153/education.pdf

Lha kalau sekolah buruk masih begitu banyak kok ya lantas mau diuji dengan sebuah ujian standar yang hanya bisa dikerjakan oleh sekolah-sekolah berkualitas baik! Sampeyan ini bicara skala nasional lho! Jangan sembarangan menetapkan sebuah standar yang bakal digunakan untuk SELURUH INDONESIA.

31. Kalau ada siswa yang tidak lulus bukankah itu hanya ekses yang tidak perlu dibesar-besarkan?

Tidak. Kebanyakan justru lebih banyak yang menjadi ‘korban’ (victim) dari kebijakan. Korban dari kebijakan UN ini lebih banyak di daerah-daerah daripada di kota besar seperti Jakarta. Kalau siswa tidak lulus matematika karena tidak dapat sekolah yang layak, tanpa ada buku teks, tanpa perpustakaan, dengan lantai dari tanah, atap dari seng yang bocor, guru yang sering bolos karena sibuk mencari pekerjaan sampingan, dll. maka mereka adalah korban.

32. Jika saya perhatikan materi UN, sekitar 60% di antaranya adalah materi sangat dasar, ada dalam kisi-kisi baku, yang sudah seharusnya diselesaikan oleh guru terkait. Jadi paling tidak wajar saja jika secara nasional siswa harus mampu menjawab yang 60 % itu.

Pendapat ini valid dalam kondisi siswa SUDAH mempelajari 100% materi yang diujikan. Dengan demikian kalau bisa menjawab 60% akan menjadi wajar. Bagaimana kalau ternyata itu hanya ASUMSI tak berdasar? Selama ini pemerintah hanya mengasumsikan bahwa SEMUA ANAK dari Sabang sampai Merauke SUDAH mempelajari 100% materinya sehingga wajar jika mereka harus mampu menjawab yang 60% tersebut.
Pertanyaannya adalah : Apakah benar bahwa siswa SELURUH INDONESIA sudah mempelajari kurikulum NASIONAL tersebut sebanyak 100% (atau mungkin dibawahnyalah!) sehingga mereka HARUS lulus 60% materi?

33. Mengapa kecurangan yang terjadi dalam penerjaan UN menjadi alasan untuk menolak UN?
Ketidakjujuran itu berhubungan dengan faktor reliabilitas pengukuran. Jika alat ukurnya tidak reliable maka angka-angka yang ditunjukkan ya tidak bisa dipakai. Analoginya begini, jika termometer yang digunakan itu rusak maka angka bacaan yang diberikannya tidak bisa kita jadikan sebagai patokan. Di thermometer tertera 40 derajat Celsius tapi sebenarnya hanya 37 derajat Celsius. Karena termometer rusak dipakai sebagai patokan maka anak yang sehat dianggap demam dan sebaliknya yang mesti masuk rumah sakit disuruh pulang dan main-main. Jika UN-nya tidak reliable maka kita tidak bisa menggunakannya sebagai rujukan kualitas pendidikan secara nasional. Tujuan UN untuk memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di setiap daerah jelas tidak tercapai dengan adanya kecurangan dalam skala masif tersebut. UN yang menghabiskan dana ratusan milyar dan telah menyedot energi yang begitu besar tersebut menjadi mubazir dan sebaliknya justru mendatangkan bencana berskala nasional, runtuhnya moralitas pendidikan

34. Apakah kita telah mampu melaksanakan sebuah UN yang kredibel?
Secara teknis UNAS dianggap tidak layak dilakukan karena infrastruktur pendidikan kita memang belum siap untuk melaksanakan ujian yang berskala dan berstandar nasional. Bahkan untuk tingkat provinsi pun sebenarnya kita belum benar-benar siap dalam mempersiapkan segala perangkat sistemnya. Tidak ada standar baku bagaimana UNAS dapat dilakukan dengan benar-benar bersih dari kecurangan. Tidak ada juklak dan juknis yang mengatur sampai kepada hal-hal yang perlu diantisipasi. Bahkan data pengawas pun tidak perlu dilaporkan ke panitia penyelenggara! Manipulasi data pengawas oleh sekolah-sekolah jelas menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang diterapkan masih sebatas formalitas dan tidak sungguh-sungguh dilaksanakan. Dengan standar pengawasan macam begini sebenarnya kita memang tidak siap untuk melakukan perhelatan ujian secara nasional. Sungguh berbeda dengan sistem yang berlaku pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) yang ketat tersebut. Pengawasannya benar-benar ketat dan melibatkan banyak pihak independen. Bandingkan dengan UN yang dilaksanakan di sekolah sendiri dan hanya dijaga oleh para guru sekolah itu sendiri. Mengharapkan ujian yang tanpa kecurangan adalah mustahil.

35. Apa hambatan utama dari penyelenggaraan UN yang jujur dan kredibel?
Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh Depdiknas adalah pertimbangan moralitas aparat pendidikan yang sebenarnya tidak siap untuk menerima kenyataan. Jelas sekali bahwa banyak daerah di luar Jawa yang tidak siap untuk ikut ‘bertarung’ dalam UN dan jika dipaksakan maka jelas mereka akan ‘tumbang’ dengan mengenaskan. Dan tidak ada daerah yang ingin dinilai gagal dalam menyelenggarakan pendidikannya. Jika nilai murni UN yang digunakan maka mungkin akan terjadi di mana satu daerah hanya bisa meluluskan 30% siswanya. Nah, mungkinkah pemerintah daerah (ataupun pusat) berani membiarkan lebih dari 70% siswanya tidak lulus? Jika itu terjadi maka akan terjadi suasana kacau dan amuk massal dari siswa yang tidak lulus dan ongkos sosial dan ekonomisnya tentu akan terlalu besar untuk dapat ditanggung oleh pemerintah, pusat maupun daerah. Jadi bagaimana jalan keluarnya? Tidak ada cara lain selain ‘menyiasatinya’. Dan ini bisa berarti menggunakan apapun cara yang memungkinkan. Tak salah jika kemudian kita mendengar bahwa hampir setiap sekolah membuat berbagai skenario untuk membantu para siswanya masing-masing.

36. Bukankah pemerintah Singapura juga melakukan UN bagi siswanya?
Tidak ada ujian nasional di Singapore. Yang ada ujian lokal, lokal Singapore tentunya. :D Kalau mau membandingkan SKALA KEBIJAKAN dari UJIAN NASIONAL ini sebaiknya jangan dengan Singapore, Vatikan atau Monaco. Mereka adalah Negara yang terdiri dari hanya satu kota kecil. Perbandingan makna ‘nasional’ antara Indonesia dengan Singapore itu sungguh tidak sebanding. Per Desember 2004, Indonesia terdiri dari 349 kabupaten/kabupaten administrasi dan 91 kota/kota administrasi yang tersebar di 33 provinsi. http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_wilayah_administratif_ di_Indonesia/ Membandingkannya dengan Singapore sungguh seperti membandingkan sebiji apel dengan buah se toko! :-)
Kalau bicara Singapore itu sama artinya dengan mengusulkan agar semua siswa di Jakarta atau Surabaya punya ujian yang sama. Sama saja dengan berkata,:” Saya berharap agar setiap siswa di Jakarta soal ujiannya sama dan tidak dibeda-bedakan (antara Jakarta Pusat dengan Selatan, umpamanya).” Tak akan ada yang protes. Ini pun sebenarnya tidak ‘apple to apple’ mengingat bahwa kualitas pendidikan di Jakarta pun bisa sangat heterogen. Bicara Indonesia dalam skala nasional adalah bicara dengan tingkat perbedaan dan kesenjangan kondisi pendidikannya yang begitu luas dan luar biasa kompleksnya. Itu sebabnya mengajukan satu ‘obat mujarab’ yang bernama Ujian Nasional yang ‘one size fits all’ adalah sebuah ironi atau minimal a joke yang tidak lucu.

37. Nggak usah jauh-jauh ke AS pak, lihat saja pelaksanaan UNAS di Malaysia. Disini sifatnya wajib (UPSR untuk kelas 6 dan SPM untuk kelas 11), Bukankah di Malaysia tetangga kita itu ada UN juga?
Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis kelulusan bagi siswa. Director Malaysia Examinations Syndicate Ministry of Education Mohammed Zakaria B Mohd Noor mengatakan, untuk murid sekolah dasar, ujian UPSR tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa. Di tingkat yang lebih tinggi ujian PMR juga dilakukan tapi digunakan untuk memasukkan siswa sesuai dengan jurusannya.
“At the end of Form 3, the Penilaian Menengah Rendah (PMR, formerly known as Sijil Pelajaran Rendah (SRP) or Lower Certificate of Education (LCE)) or Lower Secondary Evaluation is taken by students. Based on choice, they will be streamed into either the Science stream or Arts stream. The Science stream is generally more desirable. Students are allowed to shift to the Arts stream from the Science stream, but rarely vice-versa. Based on the results and individual interest, students will be streamed into Science, Arts, IT, or vocational streams for the following 2 years in the higher secondary education level. The government aims for a ratio of 60 Science to 40 Arts students.
At the end of Form 5, students are required to take the Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) or Malaysian Certificate of Education examination, before graduating from secondary school. The SPM was based on the old British ‘School Certificate’ examination before it became General Certificate of Education ‘O’ Levels examination, which became the GCSE (General Certificate of Secondary Education).”
Meski demikian UPSR dan PMR juga sedang digugat untuk ‘dimansuhkan’ (dihapus). Jadi sementara Indonesia sedang menegakkan rezim UN dengan menjadikan UN sebagai penentu kelulusan untuk semua jenjang dan memvonis siswa, di Malaysia justru mau dihapus! Padahal toh di Malaysia ujiannya bukan sebagai penentu kelulusan.
“Ada cadangan di Malaysia supaya peperiksaan di peringkat sekolah dasar (Ujian Penilaian Sekolah Rendah = UPSR) dan di peringkat menengah (Penilaian Menengah Rendah = PMR) ditiadakan.
http://www.bharian.com.my/m/BHarian/Thursday/Nasional/20070510085725/Article/

38. Membandingkan AS dgn Indonesia, dalam hal di sana tidak ada UN, menurut saya, tidak pada tempatnya. Di Jepang yang tidak kalah majunya dengan AS, ada yang disebut UN.
Kalau membandingkan dengan AS tidak pada tempatnya lantas mengapa Anda menyodorkan Jepang sebagai perbandingan? :-) Bukankah ini juga tidak pada tempatnya? Coba sodorkan negara lain sebagai perbandingan yang lebih ‘apple to apple’. Jepang itu sungguh tidak apple to apple jika dibandingkan dengan Indonesia yang membentang dari Sabang ke Merauke karena tidak ada daerah di Jepang yang tertinggal, apalagi tidak punya aliran listrik agar bisa setara dengan daerah lain. Untuk kasus Jepang diasumsikan bahwa 100% siswa di Jepang telah memperoleh hak dan pelayanan pendidikan yang berstandar nasional (Jepang) sehingga adalah PATUT jika mereka diuji dengan Ujian Nasional (standar Jepang) dan lulus dengan standar angka 60%. Coba bawa asumsi ini ke Pulau Madura saja. Jangankan yang jauh, sedangkan di Pulau Madura yang sudah punya jembatan Suramadu yang megah tersebut banyak yang belum dapat listrik kok! Sekitar 34 persen wilayah pedesaan di empat kabupaten di Pulau Madura, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Kabupaten Sumenep, hingga saat ini belum mendapat aliran listrik. Baca http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/12/21/brk,20091221-214830,id.html
Apakah Jepang menjadi cocok untuk dijadikan sebagai contoh dengan fakta ini?

39. Bukankah UN meningkatkan kualitas pendidikan karena ada target yang hendak dicapai dan itu membuat semua siswa dan sekolah berupaya untuk mencapai target tersebut?
Jika memang demikian logikanya, mengapa tidak sekalian saja menaikkan standarnya menjadi standar UI (Ujian Internasional)? Kalau dengan diwajibkannya UN saja maka kualitas pendidikan kita meningkat maka tentunya dengan mewajibkan ujian yang berstandar Internasional akan membuat kualitas pendidikan kita langsung meroket menginternasional. :-)

40. Bukankah kenaikan nilai UN dari tahun ke tahun merupakan bukti meningkatnya kualitas pendidikan secara nasional?
Tidak benar. Peringkat kualitas pendidikan kita justru menurun dalam hasil penilaian TIMSS (Trends in International Mathematics and Science) dan PISA (Programme for International Student Assessment) yang berstandar internasional.
Hasil penilaian TIMSS yang diselenggarakan setiap empat tahun dengan tujuan mengetahui perkembangan kemampuan Matematika dan Sains bagi para pelajar di berbagai negara hasilnya sangat mengecewakan. Untuk tingkat delapan (setingkat SLTP), Indonesia berada di peringkat 36 dari 48 negara, jauh 16 tingkat dibawah Malaysia. Nilai yang didapat siswa Indonesia pun sangat buruk yaitu hanya 397 sementara rata-rata nilai seluruh negara yang disurvei adalah 452. Jadi di bawah rata-rata. TIMSS dianggap sebagai ajang yang sesuai untuk mengukur dan menilai kemampuan Matematika dan Sains para pelajar dari berbagai negara. TIMSS bahkan diakui lebih representatif karena setiap negara peserta diwakili oleh ribuan pelajar. Jangan bandingkan dengan IMO dan IPhO yang meruipakan lomba individual karena hanya diwakili empat sampai enam siswa.
Indonesia mengikuti TIMSS pertama kali pada tahun 1999, menyusul kemudian tahun 2003, dan terakhir tahun 2007. Dalam TIMSS 1999 misalnya, ternyata dari 38 negara peserta siswa SLTP kita hanya mampu menduduki ranking ke-34. Empat negara di bawah kita hanyalah Chili, Marocco, Filipina, dan Afrika Selatan. Lima negara terbaik saat itu adalah Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Belgia. Bagaimana dengan TIMSS 2003? Sama saja! Siswa Indonesia hanya berada pada ranking ke-35 dari 46 negara peserta yang melibatkan lebih dari 200.000 siswa. Untuk bidang sains hasil survey TIMSS 2007 menempatkan Indonesia pada peringkat 35 dari 46 negara peserta, tetap jauh (14 tingkat) dibawah Malaysia.
Dari data tersebut terlihat bahwa kemampuan Matematika dan Sains siswa Indonesia masih sangat rendah, jauh lebih rendah daripada siswa tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kemenangan beberapa siswa Indonesia dalam berbagai forum Olimpiade Internasional (IMO, IPhO dan sebagainya) yang bersifat individual tidak bisa dijadikan sebagai bukti tingginya kualitas pendidikan kita karena bersifat individual dibandingkan prestasi buruk siswa Indonesia dalam forum TIMSS yang bersifat kolektif.
Dalam survei tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2003, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 40 negara dalam hal Matematika, IPA, maupun membaca. Dalam hal membaca, hanya 31 persen siswa Indonesia yang mampu menyelesaikan dengan cukup baik sebagian besar soal yang diberikan.
Pada survei PISA tahun 2006, peringkat Indonesia untuk Matematika turun dari 38 dari 40 negara (2003) menjadi urutan 52 dari 57 negara, dengan skor rata-rata turun dari 411 (2003) menjadi hanya 391 (2006). Untuk IPA, peringkat Indonesia turun dari 36 dari 40 negara (2003) menjadi 54 dari 57 negara dengan skor rata-rata turun dari 395 (2003) menjadi 393 (2006). Untuk membaca, peringkat Indonesia turun dari 40 dari 40 negara menjadi 51 dari 56 negara.
Ini semua bukti bahwa kenaikan nilai UN dari tahun ke tahun tersebut tidak ‘bunyi’ di tingkat internasional.

41. Mengapa penerapan UN tidak bisa dijadikan sebagai resep untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional kita?
Memang tidak bisa. Akar persoalan pendidikan kita yang sebenarnya bukan di ujian nasional. Bukan lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum yang menjadi permasalahan pendidikan kita tetapi karena rendahnya kualitas guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional. Menurut laporan Balitbang Depdiknas sendiri hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan guru SD di Indonesia yang memiliki kualifikasi untuk mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan sekolah Depag. Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar. Jadi inilah sebenarnya akar persoalan pendidikan kita, buruknya mutu guru yang mengajar, dan bukan karena mereka perlu ujian yang berstandar nasional.

42. Mengapa Ujian Nasional disebut sebagai ‘standardized test’?
‘Standardized test’ artinya sebuah tes yang didesain agar semua siswa menjawab pertanyaan yang sama dalam kondisi yang serupa dan jawaban mereka dinilai dengan cara yang sama. Biasanya soal dibuat dalam bentuk pilihan berganda (multiple choice) dan hanya ada satu jawaban yang benar. Jadi meskipun hanya berlaku untuk daerah tertentu saja, tes tersebut juga disebut Tes Standar.

43. Apa kelemahan dari soal yang berbentuk multiple shoice?
Tes pilihan berganda adalah pengukur kinerja siswa yang buruk. Soal pilihan ganda tidak bisa mengukur kemampuan siswa dalam menulis, menggunakan matematika dalam kehidupan nyata, memahami metode ilmiah atau konsep ilmu sosial, apalagi mengukur kemampuan siswa dalam menggunakan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan nyata. Tes model ini jelas tidak akan bisa mengukur ketrampilan siswa seperti berenang, melukis, mengoperasikan komputer, mengorganisir, memimpin, berpresentasi, dan semua jenis ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa. Test standar tidak bisa mengukur inisiatif, kreatifitas, imajinasi, berpikir konseptual, rasa ingin tahu, usaha, penilaian, komitmen, dll. Apa yang bisa diukur oleh soal mulriple choice sangat… sangat terbatas!

44. Bukankah semua itu harus ada standarnya?
Ya. Tapi sebelum ujiannya yang distandarkan HARUSNYA fasilitas, jumlah guru, kompetensi guru, kurikulum yang digunakan, dana operasional, dll yang distandarkan dulu SECARA NASIONAL. Kalau semua persyaratan itu belum standar secara nasional maka membuat standar ujian nasional yang dipaksakan adalah HARAM hukumnya.

45. Mengapa UN sebagai ’standardized test’ dianggap tidak tepat untuk diujikan pada seluruh siswa di seluruh Indonesia?
Sebuah tes standar baru layak dilakukan jika siswa yang akan diuji tersebut telah mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan apa yang telah diperolehnya (test what you teach). Setiap tes yang beresiko tinggi haruslah hanya mencakup materi yang PERNAH dipelajari oleh siswa. Tak boleh ada soal tes yang belum pernah dipelajari oleh siswa. Bagaimana mungkin kita menerapkan sebuah tes yang standar bagi siswa yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang standar? Apa yang mau diuji dan diketahui dengan itu? Darimana pemerintah mengambil kesimpulan bahwa pelayanan pendidikan DI SELURUH Indonesia telah sama standarnya dari Sabang sampai Merauke sehingga layak untuk diuji dengan sebuah tes standar? Ini sungguh gegabah dan di negara lain hal tersebut dapat membuat pemerintah dituntut di pengadilan karena telah melakukan sebuah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Sungguh aneh bahwa tak ada satu pun propinsi di Indonesia yang protes mendapat perlakuan sewenang-wenang seperti ini. Ini juga menunjukkan bahwa pendidikan belum otonom di Indonesia dan daerah juga belum tahu apa yang harus dilakukannya tanpa pusat yang mendiktenya.

46. Mengapa dikatakan bahwa Ujian Nasional itu merupakan sebuah ’standardized test’ yang ’high-stakes’?
Ujian nasional adalah sebuah bentuk tes yang dikategorikan sebagai ’high-stakes’ (berisiko tinggi atau berdampak luas) karena digunakan untuk menjadi penentu utama dalam kelulusan siswa, dan memiliki konsekuensi besar bagi siswa yaitu tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi jika mereka tidak lulus. Sebuah ujian berkategori ’beresiko tinggi’ jika merupakan satu-satunya penentu kelulusan. Meski Depdiknas selalu berkilah bahwa UN hanya 1 diantara 4 syarat kelulusan tapi sebenarnya 3 persyaratan lain boleh dikata tidak berarti dibandingkan dengan syarat nilai UN itu sendiri. Tanpa lulus UN ketiga syarat yang lain tidak ada artinya.

47. Mengapa UN disebut sebagai ’exit exams’?
’Exit exams’ artinya adalah sebuah ujian standar (standardized test) yang harus dilalui oleh siswa untuk lulus dari sekolah jenjang SLTA. Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa siswa yang lulus sekolah publik memiliki kemampuan dasar yang ditetapkan dan biasanya dalam bidang bahasa dan matematika. Siswa harus lulus ujian ini agar dapat memperoleh sertifikat untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Ujian yang bersifat nasional semestinya hanya untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan. Hasil nilainya tidak boleh dijadikan “vonis” bagi siswa dan menghukumnya. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

48. Bolehkah sebuah ’standardized test digunakan sebagai penentu kelulusan (exit exams)?
Sebagai satu-satunya penentu jelas tidak boleh. Ujian yang standar memang semestinya hanya digunakan sebagai alat evaluasi dan bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah sudah mengingkari fungsi ujian nasional yaitu untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjamin mutu pendidikan nasional. Tak ada yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal itu
Selama ini hanya siswa SLTA (high-school) yang diwajibkan untuk mengikuti exit exams dan tak ada siswa jenjang SD atau SLTP yang diwajibkan untuk mengikutinya. Siswa SD dan SLTP memang HARUS meneruskan pendidikannya karena itu adalah undang-undang. Umumnya, di negara-negara lain ujian yang bersifat nasional adalah untuk memonitor dan menjaga standar pendidikan dan bukan untuk memvonis siswa. Di Indonesia, ujian nasional (UN) menjadi faktor yang menentukan kelulusan. Siswa yang tidak lulus terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan ini sudah bertentangan dengan undang-undang.. Dengan UN ini Depdiknas berusaha mencegat siswa kelas 6 dan kelas 9 yang tidak lolos dengan nilai tertentu untuk dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang berikutnya (kelas 7 dan kelas 10). Ini artinya Depdiknas menerapkan ‘exit exams’ bagi jenjang SD dan SMP. Tak ada negara mana pun di dunia in yang menerapkan exit exams bagi jenjang SD dan SMP. Tak ada negara yang mensyaratkan siswanya harus lulus ujian tertentu sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya karena pendidikan adalah sebuah kewajiban bagi setiap anak. Mereka HARUS meneruskan pendidikannya dan tidak boleh putus sekolah. Jadi bagaimana mungkin sebuah negara yang menetapkan pendidikan sebagai sebuah kewajiban (compulsory) tapi menerapkan ‘exit exams’ bagi siswa SD dan SMP-nya? Bukankah ini justru bertolak belakang dengan prinsip wajib belajar bagi anak-anak kita? Baca http://satriadharma.wordpress.com/2008/09/18/tahukah-anda-bahwa-pendidikan-gratis-dan-bermutu-adalah-hak-setiap-anak/. Di Malaysia, ujian nasional tidak menjadi vonis bagi siswa. Ujian tidak menjadi syarat untuk naik ke jenjang pendidikan berikutnya, tetapi untuk melihat pencapaian siswa.

49. Apa dampak buruk digunakannya ujian standar sebagai penentu kelulusan?
National Academy of Sciences di Amerika dengan jelas menunjukkan hasil studi bahwa ujian standar tidaklah seharusnya dijadikan sebagai penentu utama dalam menilai hasil pendidikan. UN jelas menghukum siswa, dan juga guru, atas hal yang di luar kuasa mereka. Hal ini mendorong mereka meninggalkan pembelajaran dan beralih kepada latihan soal. Hal ini menyebabkan kurikulum sekolah menjadi terkorupsi dan pembelajaran menjadi tidak penting sehingga merugikan siswa dan pendidikan itu sendiri. Sementara nilai UN dijadikan sebagai patokan kualitas siswa atau sekolah, nilai UN itu sendiri bukanlah representasi dari kualitas siswa ataupun sekolah sebenarnya. Tes yang diberikan dalam UN hanyalah memotret sebagian kecil dari proses pendidikan yang begitu luas dan beragam. Ujian Nasional lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya

50. Apakah sebuah tes standar yang ’high-stakes’ macam UN kita bisa meningkatkan kualitas siswa dan kualitas pendidikan seperti yang selama ini digembar-gemborkan?
Jelas tidak. Sama sekali tidak ada riset yang mendukung itu. Riset dari National Academy of Sciences di Amerika justru menunjukan bahwa tes standar yang ‘high-stakes’ macam UN justru menyebabkan kerugian baik pada siswa maupun pada pendidikan itu sendiri. Ada beberapa alasan, yaitu :
1. Ujian Nasional sebagai Tes standar ‘high-stakes’ tidak adil bagi siswa. Siswa yang paling dirugikan adalah siswa yang bersekolah di sekolah yang berkualitas buruk, tidak memiliki guru yang layak mengajar, tidak memiliki fasilitas baik buku diktat, perpustakan, maupun laboratorium. Padahal pemerintah sendiri mengakui bahwa sebagian besar sekolah kita adalah berkualitas buruk!.Ujian nasional ini menghukum siswa atas masalah yang di luar kontrol mereka. Banyak yang berpendapat bahwa tidak adil dan tidak mendidik untuk meluluskan siswa jika mereka tidak layak untuk diluluskan. Tapi jika siswa tidak memiliki akses pada pendidikan yang layak maka bagaimana mungkin mereka bisa disalahkan? Sistemnya yang salah dan bukan siswa yang harus dikorbankan dalam hal ini. Hasil tes juga tidak mempertimbangkan faktor-faktor non-sekolah yang mempengaruhi hasil belajar seperti kemiskinan, kelaparan, mobilitas siswa, kesehatannya , keselamatannya, pendidikan orang tua, dll yang sebenarnya turut mempengaruhi hasil belajar siswa
2. Ujian Nasional menyebabkan sekolah mengerahkan hampir semua sumber dayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN. Ini tidak bisa disangkal bahwa bahkan siswa sekolah berstandar nasional ataupun internasional (SSN dan SSI) harus ikut bimbingan belajar agar bisa lulus UN. Suatu kesia-siaan.
3. Ujian Nasional mendorong sekolah untuk menyusun kegiatan belajar mengajarnya menjadi sekedar untuk dapat lulus UN dan bukan untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya apa yang tidak diujikan akan ditinggalkan dan dinomor duakan. Pengajaran bahasa (Indonesia ataupun Inggris) tidak lagi dirancang agar siswa menguasai ketrampilan dalam berbicara, mendengar, membaca dan menulis, tapi diarahkan agar siswa dapat menjawa soal-soal dalam UN yang sama sekali tiak ada hubungannya dengan kebutuhan penguasaan bahasa itu sendiri. Pendidikan telah direduksi menjadi sekedar bimbingan tes agar dapat lulus UN. Yang terjadi adalah ‘test-coaching’ dan bukan ‘learning’.
4. Ujian Nasional akan menyebabkan meningkatnya drop-out. Sebagian besar siswa yang tidak lulus UN tidak kembali ke sekolah meneruskan pendidikannya. Jika UN SD ini juga akan menjadi penentu kelulusan maka bisa dipastikan akan banyak siswa yang tidak lulus tidak akan kembali ke bangku sekolah.
5. Ujian Nasional membuat guru-guru baik harus mengubah strategi mengajarnya agar dapat memenuhi tujuan kelulusan UN. Hal ini menyebabkan kualitas pengajaran mereka menjadi buruk karena mereka akhirnya hanya akan mengajar demi tercapainya ujuan UN tersebut..
6. Ujian Nasional memberikan gambaran kualitas pendidikan yang salah kepada publik. Masyarakat berhak tahu bagaimana kualitas sekolahnya. Hasil UN bukanlah representasi dari kualitas sekolah. Masyarakat akhirnya akan menilai kualitas sekolah HANYA dari nilai UN yang diperoleh siswa sekolah tersebut. Ini jelas menyesatkan.

51. Apakah kita perlu menerapkan satu Ujian Nasional (UN), standar tes yang bersifat ‘high-stakes’ untuk semua daerah di Indonesia?
Jelas tidak dan jika dilakukan maka itu jelas merupakan sebuah kesalahan fatal. Baik Australia, New Zealand, Amerika Serikat, tidak menerapkan satu standar tes yang berlaku untuk semua negara bagiannya karena ide menerapkan satu ujian untuk semua negara bagian saja sudah mendapat tentangan yang begitu besar, apalagi langsung menerapkannya seperti di Indonesia ini. Setiap daerah atau negara bagian mempunyai karakteristik pendidikan yang berbeda-beda dan sungguh tidak mudah untuk menerapkan sebuah bentuk ujian yang adil, layak, perlu dan bermanfaat bagi semua siswa. Jangankan lagi di Indonesia yang disparitas kualitas pendidikannya begitu jauh antara satu daerah dengan daerah lainnya, sedangkan di negara-negara maju pun hal ini menjadi pertentangan. Padahal kalau dipikir semua negara bagian baik itu di AS, Australia, dan New Zealand memiliki standar kualitas yang tidak terlalu jauh berbeda jika mau dibandingkan dengan Indonesia. Sebuah penelitian di AS menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses terhadap pendidikan, sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur mayoritas. Dan ini jelas merugikan bagi kultur yang minoritas.

52. Bagaimana dengan negara besar lain?
Pemerintah Cina juga tidak melakukan ujian nasional yang berlaku untuk semua daerah di daratan China. Mereka bahkan membuat sebuah keputusan untuk mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah mereka untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat oleh lembaga pendidikan Negara. Pemerintah China juga melarang pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah. Artinya bahkan China juga tidak percaya pada rezim ujian nasional sehingga kita jadi tidak tahu sebenarnya Indonesia berkiblat pada negara mana dalam hal ujian nasional ini. Menurut Yong Zhao, professor bidang pendidikan di Michigan State University, dalam artikelnya “China and the Whole Child” yang dimuat dalam majalah Education Leadership (Mei 2007), persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan di negeri Tirai Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni pemberlakuan sistem ujian yang distandarkan (standardized testing) secara nasional, yang kemudian menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi pada tes (test-oriented education). Adalah aneh bahwa jika pemerintah Cina mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengahnya untuk menyelenggarakan ujian kelulusan sendiri, dan mengakhiri tirani ujian nasional, pemerintah Indonesia justru berusaha mati-matian untuk melestarikannya.
Di Cina yang menentukan kelulusan siswa adalah sekolahnya. Departemen Pendidikannya akan mengontrol dan mengawasi mana sekolah-sekolah yang meluluskan siswanya sampai 100%,. Jika terdapat kecurangan, maka sertifikasi untuk Guru dan Kepala Sekolahnya di cabut (kalo perlu seumur hidup). Ujian nasional bukan penentu kelulusan, tapi sebagai standar evaluasi. Kelulusan ditentukan oleh guru (pendidik). UN juga dijadikan sebagai reward bagi siswa karena dapat digunakan sebagai bahan untuk masuk PT dan untuk bekerja.

53. Apa kritik terhadap UN dalam metodologi pelaksanaannya?
Salah satu kelemahannya adalah metodologinya kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Jahja Umar, mantan Kepala Pusisjian Depdiknas, menilai UN secara metodologis berkualitas rendah dan kurang mengikuti kaidah pengelolaan sistem ujian yang baik. Sebagai contoh, skor hasil ujian tidak menggunakan skala yang benar dan tanpa jaminan komparabilitas secara ilmiah. Selain itu, manajemen ujian tidak dilakukan oleh sebuah lembaga yang memiliki otoritas di bidang pengujian. Semestinya pengujian ini dilakukan oleh lembaga yang otonom dan independen. BSNP sendiri belum bisa dikatakan otonom dan independen.

54. Apa usulan kepada Depdiknas untuk memperbaiki sistem UN ini?
Pertama, jangan menjadikannya sebagai penentu kelulusan. Biarkan setiap propinsi yang menentukan kriteria kelulusan siswa mereka masing-masing. Mereka yang tahu bagaimana kualitas siswa mereka masing-masing tanpa harus membandingkan dengan atau menetapkan standar yang sama dengan propinsi yang lain. Kedua, serahkan tanggungjawab kontrol pendidikan ini kepada masing-masing propinsi. Lakukan desentralisasi pendidikan. Dengan menyerahkan tanggungjawab kualitas pendidikan kepada setiap propinsi maka setiap propinsi akan berusaha untuk melakukan upaya terbaiknya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing tanpa harus didikte oleh pusat. Pusat hanya berperan dalam membantu memberikan alternatif-alternatif perbaikan kualitas dan mendorong setiap propinsi untuk mendayagunakan semua kapasitas yang mereka miliki. Depdiknas juga akan mendorong agar setiap propinsi berupaya untuk bersinergi dan bekerja sama dengan propinsi lain dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan tersebut. Ketiga, jika ingin dijadikan sebagai exit exams bagi siswa SLTA maka lakukan beberapa kali dalam masa tiga tahun seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain. Hal ini akan memberi kesempatan bagi setiap sekolah untuk melakukan perbaikan diri selama tiga tahun tersebut dan bukan menjadi vonis bagi siswa dan sekolah.

54 Point Tanya Jawab di atas saya kutip dari tulisan Bapak Satria Dharma. Seorang tokoh pendidikan negri ini yang loyalitasnya tidak hanya sebatas kata, tetapi terbukti dalam prilaku. Seorang tokoh yang merealisasikan semboyan Talk Less... Do More. Beliau termasuk tokoh pendidikan yang saya kagumi dan hormati.
Kutipan di atas telah mendapat izin dari beliau (by SMS) untuk disebarluaskan. Semakin banyak yang membaca semakin banyak pula yang terbuka cakrawalanya.

Selengkapnya...

3 Januari 2010

Benarkah Jiwa Yang Kuat Hanya Ada Dalam Tubuh Yang Sehat ?



Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Pepatah ini sangat familiar dikalangan masyarakat kita. Sejak SD saya sudah mengenal pepatah ini dan sejak SD pula saya rada ‘protes’ dengan semboyan ini. Mengapa ? Karena itu semboyan sepertinya pasang ‘harga mati’ betul. Weleh-weleh harus siap-siap neh bakal ada yang protes balik. He he he…!!

Kawan…lihatlah poto rumah di atas. Apa yang ada di dalam pemikiran kawan ? Rumah sederhana di ujung desa yang nyaman. Setidaknya lebih nyaman dari pada rumah-rumah di kolong jembatan ataupun di bantaran sungai-sungai yang siap-siap terancam longsor lalu hanyut akibat tergerus aliran air sungai yang meluap ketika musim penghujan tiba.

Tapi bukan hal itu yang ingin saya share di sini.
Di rumah tersebut tinggalah seorang remaja usia 19 tahun tetapi masih duduk di kelas XI MAN (Persiapan) Besitang Jurusan IPA (menurut pengakuannya ia terlambat masuk sekolah dulu, mungkin karena ketiadaan biaya). Namanya Muhammad Syarif Hasibuan (yang memakai kaos kuning bertuliskan SWEDIA, disampingnya adalah ayah dan ibunya). Saya jumpa dan kenal Syarif pertama kali (begitu dia biasa dipanggil) dalam sebuah kegiatan di bulan Ramadhan 1430 H yang lalu (seperti apa kegiatan tersebut silahkan baca disini).

Kehidupan keluarganya jauh dari mencukupi, ayahnya bekerja sebagai buruh kebun sawit yang sehari-hari membersihkan rumput-rumput di sekitar tanaman sawit. Sedangkan ibunya adalah Ibu rumah tangga yang sehari-hari mengurusi kebutuhan keluarga. Tetapi dengan segala keterbatasan fasilitas hidup tersebut Syarif mampu bersaing prestasi dengan murid-murid lain yang fasilitas kehidupannya jauh lebih baik dari dirinya.

“Asset agama yang terabaikan,”…… begitu komentar sahabat saya, Bapak M. Syaiful Amri, S.Pd.I (silahkan baca profile beliau disini dan disini) tentang Syarif. Ya, Syarif memiliki beberapa prestasi yang patut diperhitungkan. Diantaranya dia adalah Ketua OSIS di MAN (Persiapan) Besitang, selalu menduduki posisi nomor satu atau dua dikelasnya, dan sebagai Qori yang diperhitungkan untuk tingkat Kabupaten, terutama untuk kategori Fahmil Qur’an dan Syarkhil Qur’an.

Lantas apa hubungannya dengan pepatah yang saya sebut di awal tulisan ini? Begini, beberapa bulan yang lalu Syarif mendapat cobaan dari Allah SWT. Ia jatuh sakit sampai-sampai bobot badannya turun drastis. Ibunya sudah berusaha merawat dengan kemampuan yang ada tetapi Syarif tidak sembuh juga. Syarif yang aktif di sekolah tentu saja menjadi perhatian guru akan ketidak hadirannya karena sakit tersebut. Ketika gurunya menjenguk, kondisinya sangat mengkhawatirkan. Tapi Tuhan memang adil. Syarif memiliki guru-guru yang peduli dengan dirinya. Berkat inisiatif para guru Syarif di bawa ke rumah sakit Adam Malik di kota Medan. Diagnose dokter sungguh mengejutkan. Syarif mengalami gangguan paru-paru serius. Hampir dua minggu ia dirawat di sana. Syarif dirawat dengan menggunakan fasilitas Askin. Selama perawatan ia ditemani ibunya dan Bapak M. Syaiful Amri, S.Pd.I yang juga gurunya. Setiap pulang kuliah (beliau sedang menyelesaikan Pasca Sarjana-nya di IAIN Sumatera Utara), Pak Syaiful selalu menyempatkan mampir ke Rumah Sakit Adam Malik, bahkan terkadang menginap di rumah sakit, menjaga Syarif. Jika temans pernah membaca novel Ayat-ayat Cinta tentu teman mengenal sosok Fahri. Ada persamaan karakter antara Fahri yang produk fiktif Habiburrahman dengan Syaiful yang sosok nyata produk Allah SWT. Sama-sama berdakwah bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan… Yap…Talk Less Do More. (tapi cuma itu saja lo persamaannya, selebihnya beda semua. Ha ha ha….). Termasuk karakter langka ya untuk ukuran abad ini ? Duuuhhhh….semoga jika dirimu membaca artikel ini tetap ‘down to earth’ my friend. He he he… (kata sobat blogger aan yang kayak gini ‘berlebaian’. Whatever you say lah friend…. He he he. Pokoke all out abiiizzz….!).

Sekarang Syarif harus menjalani berobat jalan. Setiap 10 hari sekali ia harus check up kesehatannya di rumah sakit Adam Malik Medan. Selama proses berobat jalan tersebut Syarif masih diurusi oleh Bapak Syaiful. Mulanya pihak rumah sakit menggratiskan biaya obat tersebut. Tetapi beberapa hari yang lalu ada satu jenis obat yang harus ditebus sendiri di apotik. Ini berarti tambahan biaya yang harus ditanggung keluarga Syarif yang untuk makan sehari-hari saja mereka sudah cukup pas-pasan. Saya yakin Bapak Syaiful tidak hanya membantu dari segi moril tapi juga materil. Satu contoh keteladanan dari seorang guru muda yang layak dicontoh oleh guru manapun. Walaupun beliau tinggal di kampung tetapi mentalnya metropolitan. Bukankah banyak pemuda yang tinggal di metropolitan tapi mentalnya justru kampung-an….???

Walaupun kondisi kesehatan Syarif terganggu, ia tidak gampang nyerah. Semangat belajarnya tidak pernah surut. Hal itu terbukti dengan prestasi belajarnya semester ganjil kemarin. Hampir sebulan lebih Syarif tidak masuk sekolah ( 38 hari), tetapi ia mampu mengejar pelajaran yang tertinggal. Bahkan beberapa minggu yang lalu, Syaiful sempat berkomentar kepada saya… “Heran lihat anak itu, hampir sebulan lebih dia tidak sekolah, tetapi hasil ujian pelajaran Sejarah justru nilai dia yang paling tinggi….!”

Hanya saja Syarif yang biasanya menempati peringkat 1 atau 2 di kelasnya, semester kemarin dia harus puas dengan menempati posisi 12 di kelasnya. Bisa dimaklumi ketika mid semester Syarif absen, karena masih di rumah sakit dan ketika ujian praktek olah raga, dia harus memenuhi jadwal check up ke Adam Malik Medan. Hal ini suatu bukti bahwa sekalipun tubuh terganggu kondisinya, tetapi karena Syarif memiliki jiwa yang kuat maka ia mampu bertahan. Toh peringkat 12 masih lebih baik dibandingkan teman-temannya yang lain yang kondisi kesehatan dan fasilitas hidupnya jauh lebih baik dari dirinya.

Terakhir ketika saya berkunjung ke rumah Syarif kondisinya sudah mulai baikan, hanya saja masih sering batuk-batuk. Ada rasa miris di hati melihat keadaan rumahnya. Kondisi rumah tersebut sangat tidak mendukung buat Syarif untuk segera pulih kesehatannya. Lantai tanah yang lembab, dinding tepas (dari bambu) yang membuat angin malam dengan gampang menyusup ke dalam rumah dan tidur yang hanya beralaskan tikar. Ya begitulah keadaannya. Tetapi ia selalu menyambut saya dengan senyum setiap saya berkunjung ke sana. Senyum yang penuh rasa optimis menghadapi kerasnya kehidupan. Never give up..!!

Hanya saja jika ditanya apa cita-citanya ia terdiam (pada dasarnya memang anaknya pendiam). Lalu menjawab….. “Belum tau…..!!” Walaupun tetap senyum, tetapi sorot matanya seolah-olah bicara…… “Setelah tamat Aliyah, saya tidak tau lagi apakah masih bisa sekolah ?”

Kawan, dipelosok-pelosok kampung di daerah, banyak anak yang seperti Syarif. Walaupun jargon pendidikan murah dimana-mana didengungkan, tetapi tidak buat Syarif. Baginya pendidikan seperti bulan, dan dia adalah pungguknya. Tetapi pungguk yang bijak, tidak akan takut merajut mimpinya Syarif…!! Where is the will, there is the way. Semoga Allah memberi peluang kepadamu untuk meraih mimpi-mimpimu. Mimpi yang tidak pernah kamu ucapkan pada siapapun. Tapi saya yakin, kamu pasti memiliki mimpi itu. Ya bermimpilah seperti Sang Pemimpi.

Atas dasar satu fakta ini kawan, saya semakin ‘protes’ dengan semboyan di awal tulisan ini. Semboyan tersebut terbantahkan dengan pernyataan berikut ini:

“Bila Jiwa itu besar,
Sesungguhnya fisik tak akan
Mampu meladeninya…”

(by Solikhin Abu Izzudin, from Zero to Hero)


Selengkapnya...